Pemandangan di seberang menjadi fokus
Haikal sedari tadi. Atensinya terpaku pada Zehan—teman satu sekolahnya yang tampak
telaten mengajari anak-anak berhitung dan membaca. Dia adalah sosok kesayangan
semua orang dengan segala kelebihan yang dimiliki. Haikal ingin berada di
posisi Zehan walaupun hitungan detik. Apakah semesta akan mengizinkannya?
Fokus Zehan yang sedang mengajari seorang
anak menyelesaikan operasi perhitungan teralih ketika melihat keberadaan Haikal.
Dirinya mengamati sesaat. Ada apa gerangan temannya itu duduk seorang diri di
sana?
“Aisha,” panggil Zehan pada anak berusia
tujuh tahun. “Abang ke sana dulu, ya. Mau samperin teman.”
Gadis kecil itu mengangkat pandang, lantas
mengangguk. “Jangan lama-lama, ya, Bang.”
Zehan teersenyum tipis. “Iya, nanti Abang
ke sini lagi.” Kaki jenjang Zehan pun mematri langkah menghampiri Haikal.
![]() |
Sumber : Bing |
“Bro!” Zehan mengadu kepalan tangan pada
Haikal ketika sampai, lantas mengambil posisi di samping temannya itu.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Haikal.
“Lo juga ngapain di sini?” Zehan malah
bertanya balik. “Sendirian lagi. Jomblo lo kentara banget.”
Haikal mendengkus geli terhadap candaan
Zehan. “Siapa juga yang mau sama remahan rengginang nggak guna kayak gue, Han …
Han.”
Jawaban Haikal yang merendahkan dirinya
sendiri membuat Zehan terkesiap. “Siapa bilang diri lo nggak guna, hah?”
“Gue sendirilah,” jawab Haikal begitu
lancar.
Zehan menegur, “Stop buat sebut diri lo
sendiri nggak guna, Kal!”
“Lho! Emang nyatanya gitu, kok,” sanggah
Haikal. “Yang ada gue selalu nyusahin orang.”
“Jadi lo menyangkal sifat Allah An-Nafi’?”
Pertanyaan itu membuat Haikal tertegun.
“Kenapa nyambungnya jadi ke situ, Han?”
“Dengan menyebut diri lo sendiri nggak
guna, secara tidak langsung lo meragukan sifat Allah An-Nafi’,” ucap Zehan.
“Kok bisa gitu, Han?” Haikal tidaklah
paham arah pembicaraan kawannya ini. Maklum, kecepatan otaknya tak sepadan
Zehan. Jadi, dirinya perlu waktu untuk memproses.
“Sekarang gue mau tanya dulu. An-Nafi’
artinya apa?”
Haikal mengerlingkan mata, berusaha
mengingat pelajaran minggu lalu. Setelah berpikir, akhirnya pemuda itu
menemukan jawaban. “Allah Maha Pemberi Manfaat?”
“Tepat sekali.” Zehan menjentikkan jari.
“Segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti punya manfaat, nggak sia-sia gitu aja
sekalipun itu perkara buruk. Dan, lo adalah bagian dari sesuatu itu, Kal. Jadi,
stop buat sebut diri lo nggak guna.”
Haikal bergeming mendengar penjelasan si
bintang sekolah itu. Tak heran kaum hawa banyak yang mengidolakan Zehan. Selain
tampang yang sangat mendukung, pemahaman ilmu agamanya juga tergolong baik.
![]() |
Sumber : Kompasiana |
“Kotor.” Satu kata itu lolos dari bibir
Haikal.
“Tapi, ada manfaat besar yang tersembunyi
di dalamnya. Debu bisa kita gunakan untuk tayamum saat nggak ada air,” tandas
Haikal.
Haikal mengerjap. Penjelasan sederhana itu
membuatnya hampir melongo. Mengapa dirinya tidak berpikiran ke sana?
“Satu lagi, Kal. Kuman, bakteri, dan virus
pun sebenarnya punya manfaat.”
“Lho! Bukannya itu malah bawa penyakit?”
Haikal kembal dibuat bertanya.
“Itu bisa jadi ladang rezeki, Kal,” lontar
Zehan. “Akhirnya, dibuatlah antiseptik, vaksin yang diperjualbelikan. Para
dokter dan bidan dapat rezeki juga melalui perantara kuman bakteri. Mereka
memeriksa pasien sakit yang terpapar virus atau bakteri dan akhirnya mendapat
upah dari jasa yang mereka punya, yaitu jasa kesehatan.”
Haikal geleng-geleng kepala saking
takjubnya. Dirinya tidak pernah memikirkan perkara kecil seperti itu sampai
sedetail ini. Dirinya semakin merasa bodoh apabila bersama Zehan.
“Itu masih hal kecil, Kal. Masih banyak
hal di luar sana yang kelihatannya sepele tapi punya manfaat besar.” Dia
mengelih pada Haikal. “Jadi, stop buat menaruh spekulasi buruk kalau
diri lo nggak guna, ya, Kal. Lo manusia, makhluk yang diciptakan dalam keadaan
sebaik-baiknya. Makhluk sekecil bakteri aja punya manfat, apalagi lo sebagai
manusia.”
Penulis dan Editor : Nur HS
Kontributor : Umar, Ririn