Secangkir Wejangan

 


Sang mentari perlahan merangkak ke tengah cakrawala. Sapuan biru dan gulungan awan menghiasi langit kota, seakan tidak akan menumpahkan hujan siang ini. Walaupun langit sangat cerah, tetapi hati seorang pemuda bernama Haikal bagai dilanda mendung. Pikirannya berkelana, memikirkan diri sendiri yang jauh dari kata luar biasa. Haikal merasa dirinya hanya setitik debu di antara taburan berlian.

Pemandangan di seberang menjadi fokus Haikal sedari tadi. Atensinya terpaku pada Zehan—teman satu sekolahnya yang tampak telaten mengajari anak-anak berhitung dan membaca. Dia adalah sosok kesayangan semua orang dengan segala kelebihan yang dimiliki. Haikal ingin berada di posisi Zehan walaupun hitungan detik. Apakah semesta akan mengizinkannya?

Fokus Zehan yang sedang mengajari seorang anak menyelesaikan operasi perhitungan teralih ketika melihat keberadaan Haikal. Dirinya mengamati sesaat. Ada apa gerangan temannya itu duduk seorang diri di sana?

“Aisha,” panggil Zehan pada anak berusia tujuh tahun. “Abang ke sana dulu, ya. Mau samperin teman.”

Gadis kecil itu mengangkat pandang, lantas mengangguk. “Jangan lama-lama, ya, Bang.”

Zehan teersenyum tipis. “Iya, nanti Abang ke sini lagi.” Kaki jenjang Zehan pun mematri langkah menghampiri Haikal.

Sumber : Bing

“Bro!” Zehan mengadu kepalan tangan pada Haikal ketika sampai, lantas mengambil posisi di samping temannya itu.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Haikal.

“Lo juga ngapain di sini?” Zehan malah bertanya balik. “Sendirian lagi. Jomblo lo kentara banget.”

Haikal mendengkus geli terhadap candaan Zehan. “Siapa juga yang mau sama remahan rengginang nggak guna kayak gue, Han … Han.”

Jawaban Haikal yang merendahkan dirinya sendiri membuat Zehan terkesiap. “Siapa bilang diri lo nggak guna, hah?”

“Gue sendirilah,” jawab Haikal begitu lancar.

Zehan menegur, “Stop buat sebut diri lo sendiri nggak guna, Kal!”

“Lho! Emang nyatanya gitu, kok,” sanggah Haikal. “Yang ada gue selalu nyusahin orang.”

“Jadi lo menyangkal sifat Allah An-Nafi’?” Pertanyaan itu membuat Haikal tertegun.

“Kenapa nyambungnya jadi ke situ, Han?”

“Dengan menyebut diri lo sendiri nggak guna, secara tidak langsung lo meragukan sifat Allah An-Nafi’,” ucap Zehan.

“Kok bisa gitu, Han?” Haikal tidaklah paham arah pembicaraan kawannya ini. Maklum, kecepatan otaknya tak sepadan Zehan. Jadi, dirinya perlu waktu untuk memproses.

“Sekarang gue mau tanya dulu. An-Nafi’ artinya apa?”

Haikal mengerlingkan mata, berusaha mengingat pelajaran minggu lalu. Setelah berpikir, akhirnya pemuda itu menemukan jawaban. “Allah Maha Pemberi Manfaat?”

“Tepat sekali.” Zehan menjentikkan jari. “Segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti punya manfaat, nggak sia-sia gitu aja sekalipun itu perkara buruk. Dan, lo adalah bagian dari sesuatu itu, Kal. Jadi, stop buat sebut diri lo nggak guna.”

Haikal bergeming mendengar penjelasan si bintang sekolah itu. Tak heran kaum hawa banyak yang mengidolakan Zehan. Selain tampang yang sangat mendukung, pemahaman ilmu agamanya juga tergolong baik.

Sumber : Kompasiana
Zehan mengusap kursi yang diduduki. Ada kumpulan debu yang berkumpul di telunjuknya karena kursi ini cukup kotor. “Apa pendapat lo tentang debu?”

“Kotor.” Satu kata itu lolos dari bibir Haikal.

“Tapi, ada manfaat besar yang tersembunyi di dalamnya. Debu bisa kita gunakan untuk tayamum saat nggak ada air,” tandas Haikal.

Haikal mengerjap. Penjelasan sederhana itu membuatnya hampir melongo. Mengapa dirinya tidak berpikiran ke sana?

“Satu lagi, Kal. Kuman, bakteri, dan virus pun sebenarnya punya manfaat.”

“Lho! Bukannya itu malah bawa penyakit?” Haikal kembal dibuat bertanya.

“Itu bisa jadi ladang rezeki, Kal,” lontar Zehan. “Akhirnya, dibuatlah antiseptik, vaksin yang diperjualbelikan. Para dokter dan bidan dapat rezeki juga melalui perantara kuman bakteri. Mereka memeriksa pasien sakit yang terpapar virus atau bakteri dan akhirnya mendapat upah dari jasa yang mereka punya, yaitu jasa kesehatan.”

Haikal geleng-geleng kepala saking takjubnya. Dirinya tidak pernah memikirkan perkara kecil seperti itu sampai sedetail ini. Dirinya semakin merasa bodoh apabila bersama Zehan.

“Itu masih hal kecil, Kal. Masih banyak hal di luar sana yang kelihatannya sepele tapi punya manfaat besar.” Dia mengelih pada Haikal. “Jadi, stop buat menaruh spekulasi buruk kalau diri lo nggak guna, ya, Kal. Lo manusia, makhluk yang diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya. Makhluk sekecil bakteri aja punya manfat, apalagi lo sebagai manusia.”




Penulis dan Editor : Nur HS

Kontributor            : Umar, Ririn

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama