Di sebuah
desa kecil yang dikelilingi sawah hijau terbentang, hiduplah seorang gadis
bernama Zea. Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, Zea sudah terbangun untuk
membantu ibunya berjualan di pasar. Tangan mungilnya lincah membungkus nasi
hangat dan lauk pauk sederhana. Meski hidup pas-pasan, Zea mempunyai mimpi
besar bisa berkuliah di Universitas Indonesia yang terletak di ibu kota untuk
mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru.
“Bu, aku
ingin sekali jadi guru seperti Bu Ani,” ujar Zea sambil menatap langit.
“Apapun itu
cita-cita mu ibu selalu mendukungmu nak, karna ibu percaya bahwa kamu bisa
mewujudkannya,” jawab sang ibu sambil mengelus kepala Zea.
Sekolah
adalah dunianya. Setiap hari, Zea berangkat dengan semangat. Namun, pelajaran
matematika selalu menjadi momok baginya. “Aduh, kenapa ya rumus-rumus ini nggak
masuk ke otak?” gerutunya dalam hati.
Suatu hari,
sekolah mengumumkan adanya beasiswa untuk kuliah di Universitas Indonesia. Hati
Zea berbunga-bunga. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh ia sia-siakan.
Dengan tekad bulat, ia mulai mempersiapkan diri. Setiap malam, ia belajar
hingga larut malam, ditemani secangkir teh hangat dan buku-buku tebal.
Setelah
melalui seleksi yang ketat, akhirnya nama Zea tertera di papan pengumuman
sebagai salah satu penerima beasiswa di Universitas Indonesia. Air mata haru
mengalir di pipinya. Ia memeluk erat orang tuanya yang juga sangat bahagia.
“Aku
berhasil, ibu, bapak!” teriak Zea dengan gembira.
“Bapak
bangga sama kamu, Nak,” ucap bapaknya sambil mengusap kepala Zea.
Namun, di
balik kebahagiaan itu, Zea merasa gelisah. Ia teringat pesan ibunya, “Jangan
lupakan kami, Nak. Desa ini yang telah membesarkanmu.” Zea sangat mencintai
keluarganya dan tidak tega meninggalkan orang tuanya yang sudah lanjut usia.
Ketika hari
keberangkatan tiba, Zea merasa berat hati meninggalkan rumah. Ia memeluk erat
orang tuanya. “Jaga diri baik-baik di sana, ya, Nak,” pesan ibunya sambil
menahan air mata.
Di kota,
Zea tinggal di asrama bersama teman-teman sekamarnya. Awalnya, ia kesulitan
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Namun, berkat sifatnya yang ramah, ia
segera memiliki banyak teman.
Rina: "Zea, kamu dari desa ya?
Pasti banyak cerita seru tentang kehidupan di desa, dong?"
Zea: "Iya, banyak banget. Dulu,
aku sering banget bantuin orang tua di sawah. Kita bangun pagi-pagi buat nyiram
tanaman, terus pas panen kita ngumpul semua keluarga buat ngambil hasil panen.
Seru banget!"
Rina: "Wah, keren banget! Aku jadi
pengen ikut ngerasain."
Meski sibuk
dengan kuliah, Zea tidak pernah melupakan orang tuanya. Setiap akhir pekan, ia
selalu menelepon orang tuanya. Ia menceritakan tentang kegiatannya di kampus dan
berbagi cerita tentang teman-temannya.
Beberapa
tahun kemudian, Zea berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cumlaude.
Ia mendapatkan pekerjaan sebagai guru di sebuah sekolah di kota. Mimpi masa
kecilnya akhirnya terwujud.
Suatu hari,
Zea memutuskan untuk mengajak orang tuanya berkunjung ke ibu kota. Ia ingin
memperlihatkan kepada mereka semua yang telah ia capai. Orang tuanya sangat
bangga melihat kesuksesan anak perempuannya.
“Ibu selalu
percaya kamu bisa, Nak,” ujar ibunya sambil memeluk Zea erat.
Zea
tersenyum bahagia. Ia tahu bahwa semua yang telah ia raih tidak lepas dari
dukungan dan doa orang tuanya. Ia berjanji akan selalu membahagiakan mereka.