![]() |
sumber : freepik |
“Hapus air matamu, Saida.” Gadis berhijab pashmina
hitam itu mendongak kala suara bariton tersebut memenuhi telinga. Ada sosok
pemuda jangkung berdiri tepat di hadapannya seraya menyodorkan sebuah sapu
tangan. Dia adalah Haidar—teman satu kelasnya.
Perlahan, tangan Saida terulur menerima. “Makasih,
Haidar.”
Haidar mengangguk pelan. Laki-laki itu mengambil
posisi di samping Saida. Ada jarak sekitar setengah meter di antara keduanya.
Haidar menatap Saida lamat. Gadis itu sibuk menghapus air mata dengan sapu
tangan pemberiannya.
Hatinya ikut sedih apabila melihat Saida seperti ini.
Haidar tahu mengenai musibah yang menimpa gadis itu melalui cerita dari mulut
ke mulut. Tak heran jika Saida tampak terpuruk seperti ini karena nyatanya ditinggal
orang tua merupakan kehilangan yang paling sakit. Haidar sudah pernah berada di
fase ini, tepatnya sepuluh tahun lalu. Sang ibu meninggal karena sakit yang
diderita.
“Maaf Haidar, aku harus pergi," ucap Saida lalu
meninggalkan Haidar usai menyeka air matanya. Gadis itu sangat malu karena
terciduk menangis oleh Haidar.
"Saida," panggil Haidar. Namun, Saida tak
memedulikan panggilan itu. Ia semakin mempercepat langkahnya.
![]() |
sumber : freepik |
"Izinkan aku menjadi nun wiqoyahmu." Ucapan itu bagaikan mantra yang menghentikan langkah Saida dalam sekejap.
Gadis itu berbalik. "Maksud kamu apa,
Haidar?" tanya Saida lirih.
Haidar pun berjalan mendekati Saida. "Izinkan aku
menjadi penjaga di saat dirimu terjatuh. Layaknya nun wiqoyah yang menjaga
sebuah fiil agar tak berharakat kasrah," ujar Haidar terdengar
sungguh-sungguh.
Saida tertegun mendengarnya. Saida sedang tidak
bermimpi bukan? Ada seorang laki-laki yang ingin menjaganya? Padahal Saida
bukanlah siapa-siapa, hanya sekadar teman satu perguruannya. Saida menatap
lamat sosok laki-laki di depannya. Ada pancar ketulusan yang ia lihat dari
sepasang manik hitam tersebut. Haidar memang berulang kali mencoba untuk
mendekati, tetapi Saida selalu menghindar. Dia sudah minder duluan karena
Haidar berasal dari keluarga yang tergolong kaya.
"Kamu ingin menjagaku?" Saida mengajukan
pertanyaan untuk memastikan telinganya tidak salah tangkap.
"Iya, Saida," jawab Haidar penuh keyakinan, sang
bidadariku, sambungnya dalam hati.
"Saida, dengar. Asal kamu tahu, aku
bersungguh-sungguh dengan ucapanku untuk menjagamu. Aku tidak ingin melihatmu
terjatuh terlalu dalam dan larut dalam tangisan. Hatiku seakan sakit bila
melihatmu seperti ini," jelas Haidar dengan tatapan penuh makna.
Perlahan, sebuah senyuman yang Haidar rindukan
terlihat di wajah Saida walaupun itu sebuah senyuman tipis. Entah mengapa hati
Haidar menghangat melihat hal itu. Sedangkan Saida, ia ingin sekali memeluk
orang di hadapannya ini. Namun, Saida menahannya. Hal itu tak boleh dilakukan
karena Saida sadar siapa dirinya dan siapa Haidar. Apakah Saida boleh berharap
lebih pada ucapan Haidar tadi?
“Izinkan besok aku menemui kakekmu untuk meminta
restu. Aku tidak main-main dengan perasaanku padamu, Saida.”
Saida terperangah. Mulutnya sampai terbuka saking
kagetnya. “Ma-maksud kamu apa, Haidar?”
“Aku akan melamarmu.”
Penulis dan Editor : Nur HS
Kontributor : Ririn