Promise

sumber : freepik

Sudah setengah jam ini Saida menangis di bawah pohon rimbun belakang kampus kala teringat dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan pesawat bulan lalu. Cobaan ini begitu berat Saida rasa karena tempatnya untuk mencurahkan segala cerita telah pergi untuk selama-lamanya. Dan sekarang, Saida tinggal bersama sang kakek yang sudah renta.

“Hapus air matamu, Saida.” Gadis berhijab pashmina hitam itu mendongak kala suara bariton tersebut memenuhi telinga. Ada sosok pemuda jangkung berdiri tepat di hadapannya seraya menyodorkan sebuah sapu tangan. Dia adalah Haidar—teman satu kelasnya.

Perlahan, tangan Saida terulur menerima. “Makasih, Haidar.”

Haidar mengangguk pelan. Laki-laki itu mengambil posisi di samping Saida. Ada jarak sekitar setengah meter di antara keduanya. Haidar menatap Saida lamat. Gadis itu sibuk menghapus air mata dengan sapu tangan pemberiannya.

Hatinya ikut sedih apabila melihat Saida seperti ini. Haidar tahu mengenai musibah yang menimpa gadis itu melalui cerita dari mulut ke mulut. Tak heran jika Saida tampak terpuruk seperti ini karena nyatanya ditinggal orang tua merupakan kehilangan yang paling sakit. Haidar sudah pernah berada di fase ini, tepatnya sepuluh tahun lalu. Sang ibu meninggal karena sakit yang diderita. 

“Maaf Haidar, aku harus pergi," ucap Saida lalu meninggalkan Haidar usai menyeka air matanya. Gadis itu sangat malu karena terciduk menangis oleh Haidar.

"Saida," panggil Haidar. Namun, Saida tak memedulikan panggilan itu. Ia semakin mempercepat langkahnya.

sumber : freepik

"Izinkan aku menjadi nun wiqoyahmu." Ucapan itu bagaikan mantra yang menghentikan langkah Saida dalam sekejap.

Gadis itu berbalik. "Maksud kamu apa, Haidar?" tanya Saida lirih.

Haidar pun berjalan mendekati Saida. "Izinkan aku menjadi penjaga di saat dirimu terjatuh. Layaknya nun wiqoyah yang menjaga sebuah fiil agar tak berharakat kasrah," ujar Haidar terdengar sungguh-sungguh.

Saida tertegun mendengarnya. Saida sedang tidak bermimpi bukan? Ada seorang laki-laki yang ingin menjaganya? Padahal Saida bukanlah siapa-siapa, hanya sekadar teman satu perguruannya. Saida menatap lamat sosok laki-laki di depannya. Ada pancar ketulusan yang ia lihat dari sepasang manik hitam tersebut. Haidar memang berulang kali mencoba untuk mendekati, tetapi Saida selalu menghindar. Dia sudah minder duluan karena Haidar berasal dari keluarga yang tergolong kaya.

"Kamu ingin menjagaku?" Saida mengajukan pertanyaan untuk memastikan telinganya tidak salah tangkap.

"Iya, Saida," jawab Haidar penuh keyakinan, sang bidadariku, sambungnya dalam hati.

"Saida, dengar. Asal kamu tahu, aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku untuk menjagamu. Aku tidak ingin melihatmu terjatuh terlalu dalam dan larut dalam tangisan. Hatiku seakan sakit bila melihatmu seperti ini," jelas Haidar dengan tatapan penuh makna.

Perlahan, sebuah senyuman yang Haidar rindukan terlihat di wajah Saida walaupun itu sebuah senyuman tipis. Entah mengapa hati Haidar menghangat melihat hal itu. Sedangkan Saida, ia ingin sekali memeluk orang di hadapannya ini. Namun, Saida menahannya. Hal itu tak boleh dilakukan karena Saida sadar siapa dirinya dan siapa Haidar. Apakah Saida boleh berharap lebih pada ucapan Haidar tadi?

“Izinkan besok aku menemui kakekmu untuk meminta restu. Aku tidak main-main dengan perasaanku padamu, Saida.”

Saida terperangah. Mulutnya sampai terbuka saking kagetnya. “Ma-maksud kamu apa, Haidar?”

“Aku akan melamarmu.”


Penulis dan Editor : Nur HS

Kontributor           : Ririn

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama