Langit
sore nampak kelabu, perlahan hujan mulai turun membasahi jalanan kota yang
seakan menjadi latar sempurna untuk merenung. Bisma terduduk di halte dekat
kampus seusai jam kuliahnya, tangannya menggenggam buku catatan dengan
halaman-halaman penuh coretan rencana yang menurutnya berantakan. Di situ,
hanya ada satu orang lain selain dirinya, yaitu Nada, gadis yang satu jurusan
dengannya namun berbeda kelas. Wajah tenang Nada begitu familiar baginya.
Pasalnya, Bisma sering melihat Nada yang beberapa kali tergabung dalam
kepanitiaan kampus. Gadis dengan wajah tenang itu cukup aktivis dan dikenal
banyak orang menurutnya.
Namun
kali ini, Bisma bisa melihat mata gadis itu yang sedikit sembab, mungkin karena
menangis.
“Deras
banget ya, hujannya. Kayaknya bakal cukup lama redanya,” gumam Bisma pelan,
mencoba memecah keheningan.
Nada
menoleh, lalu tersenyum tipis, “Iya, itu lah hujan. Nggak pernah turun dengan
terburu-buru. Hujan, selalu turun sampai selesai, seolah tau kapan waktunya
berhenti.”
Jawaban
Nada membuat Bisma terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang
membuatnya ingin tahu lebih banyak, tapi ia ragu untuk bertanya.
“Kamu
suka hujan?” tanya Nada yang membuat Bisma mengangguk ragu. “Menurutku, hujan
adalah waktu ketika semua hal bisa berhenti sejenak. Nggak ada yang
terburu-buru, nggak ada yang memaksa. Semua orang diharuskan menunggu.”
Bisma
mengangguk pelan. “Tapi kadang menunggu itu melelahkan,” jawabnya sambil
menghela napas.
Nada
menoleh lagi, kali ini dengan tatapan ingin tahu. “Kamu lagi nunggu apa?”
Bisma
ragu sejenak, meskipun akhirnya ia menjawab, “Aku lagi menunggu kepastian. Aku
nggak yakin dengan jalan yang aku pilih sekarang. Rasanya, semua ini cuma
angan-angan kosong.”
Lagi-lagi,
Nada tersenyum tipis, “Aku juga lagi menunggu. Tapi bukan kepastian, melainkan
keberanian.”
Bisma
menautkan kedua alisnya heran, “Keberanian untuk apa?”
“Keberanian
untuk berhenti mengejar sesuatu yang nggak lagi membuatku bahagia. Kadang, kita
terlalu takut mengecewakan orang lain, sampai lupa mempertanyakan pada diri
sendiri, apakah kita sudah bahagia?”
Kata-kata
itu terngiang dalam pendengaran Bisma. Seolah kata-kata tersebut adalah suara
dari pikirannya yang tidak pernah terucapkan. Bisma menatap Nada dengan penuh
perhatian. Ia tidak menyangka, berbicara dengan Nada walau hanya sebentar mampu
mengobati perasannya yang semula campur aduk. Gadis itu seakan mempunyai obat
yang menyembuhkan banyak perasaan tak menentu.
“Mungkin,
hujan hari ini sedang bercerita untukku. Dan, untukmu juga,” kata Bisma
akhirnya.
Hujan
yang semula deras berganti gerimis ringan. Menyisakan udara segar dan genangan
air di beberapa sudut jalanan.
“Aku
pergi dulu ya, Nada. Ada urusan yang harus aku selesaikan. Lain kali kita
ngobrol lagi ya? Terima kasih untuk ceritanya,” kata Bisma sebelum melangkah
pergi.
“Terima
kasih juga. Semoga kamu menemukan apa yang sedang kamu tunggu,” jawab Nada.
Bisma
mengangguk, lalu melangkah pergi dengan hati yang lebih ringan. Seperti ada
sedikit kelegaan, harapan, dan keberanian yang baru saja ditemukan setelah
hujan bercerita cukup banyak.